Home » » Dampak Ujian Nasional Terhadap Kualitas Pendidikan Kita

Dampak Ujian Nasional Terhadap Kualitas Pendidikan Kita

Written By Hidayahtullah Abdi Robhani on Selasa, 17 April 2012 | 22.40

Berbagai keberatan yang dilontarkan oleh stakeholders terhadap penyelenggaraan UN bukan tanpa alasan. Kepeduliannya terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan menjadi perhatiannya yang serius. Berdasarkan kajian teoritik dan fakta empirik tampak jelas bahwa UN berdampak negarif terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Apabila kondisi ini terus berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan kita akan semakin merosot dan tujuan pendidikan nasional kita akan sulit untuk diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa ini tidak akan pernah berubah, terus berada dalam keterpurukan.



Berbagai dampak negatif yang nyata terjadi di sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di sekolah, diantaranya:

☺ Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah

Mata pelajaran yang di-UN-kan tidak seluruh mata pelajaran. Pada tiga tahun terakhir pada tingkat SMP dan SMA, hanya mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Memang untuk tahun 2008 direncanakan untuk tingkat SMA akan ada penambahan mata pelajaran dan berbeda antara jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Untuk SMA jurusan IPA, akan ditambah mata pelajaran Fisika, Kimia, dan Biologi; Untuk jurusan IPS akan ditambah mata pelajaran Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi, dan untuk jurusan Bahasa akan ditambah mata pelajaran Sastra Indonesia, Bahasa asing lain, dan Antropologi/Sejarah Budaya. Selain itu, pada tahun 2008 juga akan dilaksanakan UN untuk tingkat SD, dengan mata pelajaran yang diuji adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA.

Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran lain dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pengabaian terhadap mata pelajaran lain. Para siswa dan bahkan orang tua lebih memusatkan perhatiannya terhadap mata pelajaran yang akan di UN-kan, terutama pada siswa kelas akhir.

Disorientasi juga terjadi pada arah dan tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Dengan adanya UN, maka pembelajaran cenderung hanya mengembangkan ranah kognitif, pada penguasaan pengetahuan, dan mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya untuk menghasilkan individu-individu yang utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif dan psikomotorik.

☺ Proses pembelajaran yang tidak bermakna

Untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Melalui metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian, dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal yang dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran.

☺ Upaya-upaya yang tidak fair

Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap persentase/jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah. Sekolah yang mampu meluluskan siswanya dengan prosentase yang tinggi dengan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai sekolah yang berkualitas dan unggul. Setiap sekolah menginginkannya dan berbagai upaya dilakukan untuk mencapai posisi tersebut. Namun sayang, tidak sedikit oknum guru dan kepala sekolah melakukan upaya-upaya yang tidak terpuji. Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya yang tidak fair dilakukan oleh oknum guru dan kepala sekolah untuk mencapai target kelulusan yang setinggi-tingginya. Sekolah membentuk “Tim Sukses” untuk mendapatkan kelulusan 100% supaya memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan (SPM Kepmendiknas 053/U/2001) (Salamudin, 2005); Guru memberi ‘contekkan’ kepada siswa adalah suatu upaya yang sering dilakukan untuk mendongkrak nilai para siswanya dan prosentase kelulusan di sekolah. Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa. (Ade Irawan, Kontroversi Ujian Nasional. http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod= publisher&op= viewarticle&artid=3764) Kondisi seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan yang seharusnya menjadi bagian yang harus dikembangkan secara serius di sekolah. Bila ini berlanjut, bisa dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan (formal) kita. Manusia yang berkembang dalam suasana yang serba tidak jujur.

☺ Hanya ranah kognitif yang terukur

UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Mengacu pada ranah kognitif dari Bloom, tingkatan berpikir yang mampu terukur melalui bentuk soal MC hanya sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sulit diharapkan dapat diukur dengan menggunakan UN, yang sifatnya masal dan dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas. Sekali lagi kondisi ini akan berakibat pada pembelajaran di sekolah hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara kecerdasan lainnya (multiple intelegence Gardner) akan tidak mendapatkan perhatian yang memadai.

☺ Keputusan yang tidak fair

Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di SLTP dan SLTA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan ujian atau karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes (false negative).

Ketidak adilan juga bisa dilihat dari proses pembelajaran yang dialami siswa di satu sekolah dengan sekolah lainnya yang jauh berbeda. Para siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan situasi dan kondisi yang sangat jauh berbeda diuji dengan cara dan alat yang sama. Di satu sisi, siswa belajar di sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap dan dilayani oleh SDM yang jumlah dan kualitasnya sangat memadai. Jelas, hasil belajar siswa yang belajar di sekolah seperti ini, sangat mungkin mencapai hasil yang optimal. Namun di sisi lain, di sekolah ‘nan jauh di sana’, sebagian besar siswanya menjalani proses pembelajaran yang serba seadanya. Bahkan gedungnya pun hampir roboh. Bagaimana mungkin para siswanya dapat belajar dengan baik untuk mendapatkan hasil belajar dengan nilai yang baik dengan kondisi seperti itu. Tanpa dilakukan pengujian secara nasional pun, yang memakan biaya puluhan milyar (untuk tahun 2008, UN SD saja akan memakan biaya sebesar Rp 96 milyar), sudah dapat dibaca kualitas macam apa yang bisa dihasilkan dari model sekolah seperti itu.

☺ Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin

Di samping sebagai persyaratan untuk kelulusan, hasil UN juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang berkualitas dan ‘favorit’ akan menjadi tujuan para siswa, yang berakibat pada terjadinya persaingan yang ketat antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan impian itu, dengan mempertimbangkan karakteristik model UN yang akan dihadapi para siswa berusaha menambah waktu belajar tambahan dengan mencari guru privat atau mengikuti bimbingan belajar adalah pilihan yang selama ini dianggap tepat. Upaya ini tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu, karena upaya tersebut menuntut biaya yang tidak sedikit. Siswa miskin hanya bisa berusaha keras atas kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak mereka yang miskin akan kalah bersaing untuk dapat masuk ke sekolah berkualitas.

Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Hidayahtullah Abdi Robhani
Copyright © 2013. Electricle - All Rights Reserved
Thanks for visiting Electricles Copyright © by Abdi Robhani
This site was built on 10th January 2011 from Blogger